Ungkapan perasaan Emha Ainin Nanjib tentang Indonesia
Aku
jatuh hati pada Indonesia. Tanah air alunan balada antagonis-protagonis yang
harmonis. Tak peduli apakah nenek moyang mereka adalah Ibu Peradaban Dunia
ataukah raja dan rakyat dungu yg bisa dijajah ditipu diperdaya oleh sekumpulan
satpam VOC.
Biarin
apakah mereka berasal usul dari Negeri Atlantis, Sunda Land, atau turunan Nabi
Sis ketika darah istrinya dirasuki Iblis. Tidak urusan apakah sejarah manusia
Nusantara lebih tua dibandingkan dengan Yunani kuno, Mesir kuno, Inka-Maya,
Mesopotamia, sehingga juga jauh lebih tua daripada Ibrahim yang menurunkan
Yahudi dan Arab yang kini sedang menguasai dunia.
EGP,
apakah mereka sedang dilanda epidemi peracunan otak dua millenium, penipuan
global yang berlangsung sejak lahirnya Isa Al-Masih, dilanjutkan 37 sesudah
penyaliban beliau, serta disempurnakan tiga abad silam sesudah Revolusi
Industri.
Pertengseng
apakah benar "kasepuhan" nenek moyang Nusantara ini sengaja dikubur
disembunyikan oleh pemenang sejarah dunia modern. Nggak patheken juga apa
mbah-mbah buyut mereka dahulu kala merupakan perintis "10 pilar
peradaban" biangnya peradaban pertanian bumi dan kemaritiman laut, bikin
password pemindah hujan, penyusun awan, dan penolak rudal, impor logam dari
Mars dan Neptunus untuk bikin keris, teknologi penerbangan frontal
anti-gravitasi, penemu bahan adiksi-adiksi dari antara gunung berapi dg laut
selatan, 41 level santet, yg anak-cucunya rindu trap-trap sawah pegunungan hingga bikin piramid. Atau
apapun saja.
Juga
biarkan saja apakah Maha (Perdana) Menteri Gadjah Mada dengan ideologi
ambeng-nya jauh lebih demokratis dibandingkan dengan "tumpeng" NKRI
yang berlagak demokrasi tapi rakyatnya tak punya daya kontrol apa pun terhadap
tipu daya nasional para pemimpinnya. Pun tak usah disesali kenapa Majapahit
bikin bangunan keraton dari kayu, sehingga hancur luluh tenggelam oleh luapan lumpur
Canggu antara Sidoarjo dan Mojokerto.
Go
to hell with simpang siur sejarah. Wali Songo pun skrg semakin digugat-gugat
eksistensi historisnya, karena "iman" metodologis-historis kita tidak
kepada babad, legenda, folklore, atau dongeng. Toh, sekarang para EO
menyibukkan masyarakat untuk menziarahi Wali Sepuluh: Wali Sembilan plus Gus
Dur, sementara Hadlratus-Syaikh Hasyim Asy'ari kakek beliau dan Kiai Wahid
Hasyim bapak beliau sedang dipertimbangkan apakah termasuk wali atau bukan.
Bahkan biro-biro travel sudah melantik Wali Songo Jawa Timur. Jadi Sunan Gunung
Jati, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, tdk termasuk. Dicari wali-wali lain di
lingkup Jawa Timur untuk disembilan-sembilankan.
Aku
jatuh hati kepada Indonesia. Sebagian rakyatnya yang tidak bobrok berpendapat,
Indonesia sedang bobrok-bobroknya. Kenyataannya tidaklah bobrok, karena
kebobrokan tidak mengerti kebobrokan, kegelapan tidak menyebut dirinya
kegelapan. Para penganut aliran kebobrokan berteriak cemas: "Bangsa
Indonesia harus bangkit!" Sementara itu, yang paling bobrok berpikir
sebaliknya: "Kita sudah bangkit, bahkan sedang menikmati ninabobo dunia
internasional yang menganugerahi kita 'Award of Kebangkitan'."
Di
fajar hari, ibu-ibu sudah siap di pasar ketika presiden masih tidur. Ada yang
berfilsafat: rakyat yang baik adalah yang rajin salat subuh, yang produktivitasnya
dimulai sejak sangat dini. Tapi ada yang memelesetkan: subuh itu berwarna
hijau, karena subuh adalah Islam. Presiden dan pemerintah jangan rajin salat
subuh, supaya wajahnya tak jadi hijau, seperti tahun-tahun terakhir Soeharto. Dunia
tidak suka Indonesia berwarna hijau dan pakai peci. Untuk Indonesia, Islam
mesti hijau lapuk, pemeluknya harus bodoh, kumuh, brutal, dan nutrisi rendah.
Meskipun
demikian, tampil modern dan mewah boleh juga, asalkan hipokrit dan permisif. Terserah.
Yang pasti, jangan suruh rakyat Indonesia bangkit. Mereka tiap hari sudah bangkit,
karena tiap hari jatuh. Kejatuhan adalah parameter utama rakyat dalam mengukur
setiap pemerintahan yang menimpakan kepada mereka musibah-musibah. Seberapa
kadar kejatuhan rakyat pada penguasa yang ini, yang itu, di zaman kerajaan
maupun republik.
Rakyat
Indonesia adalah pakar kejatuhan, maka juga Pendekar Kebangkitan, yang mampu
bangkit meskipun tanpa kebangkitan. Maka bernama bangsa garuda, meskipun ada
yang mengejeknya sebagai bangsa emprit. Tak apa. Emprit jasadnya, garuda
jiwanya. Garuda memperoleh kelahiran kedua pada usia sekitar 40 tahun dengan
terlebih dulu melakukan penghancuran atas paruh dan kuku-kukunya,yang kemudian,
bagi yang lulus: tumbuh paruh sejati dan kuku sejati. Sebagaimana garuda
terbang ke gunung-gunung batu untuk mematuki dan mencengkeram batu-batu itu
sampai paruh dan kukunya tanggal --bangsa Indonesia hari ini juga sedang
riang-riangnya menghancurkan paruh dan kukunya sendiri. Garuda bangkit dan
terbang, dengan 17 helai sayap dan 8 helai ekor, angka hari kemerdekaan 17
Agustus 1945.
Andaikanpun
Indonesia merdeka pada tanggal 1 bulan 1, ia tetap jagoan dan sanggup terbang
dengan sayap sehelai.Bangsa tertangguh di muka bumi ini, sanggup bergembira
dalam derita, mampu melangkah pasti di jalan ketidakpastian, ringan tertawa di
kurungan rasa bingung dan sengsara.
Aku
tergila-gila pada Indonesia. Bangsa yang juara atas hidupnya sendiri. Warga
negara miskin antre naik haji menunggu 10 tahun lebih, tanpa pernah menawar
berapa pun biayanya. Bahkan membayar di muka, tanpa peduli ke mana bunganya.
Di
Tanah Suci, mereka sowan kepada Kanjeng Nabi dan mendengarkan petuah menantu
beliau si penjaga pintu ilmu Sayyid Ali bin Abi Thalib: ''Wahai bangsa
Indonesia, jangan katakan kepada Tuhan bahwa kalian punya masalah, tetapi
nyatakan kepada masalah bahwa kamu punya Tuhan." Bangsa Indonesia punya
banyak senjata untuk melawan kejatuhan dan siaga menyelenggarakan kebangkitan.
Mereka
menantang kehidupan yang tidak rasional dan penuh kemustahilan dengan
"bismillah". Atas nafkah tidak
mencukupi mereka bilang "tawakal". Didera keadaan serba-kekurangan
terus-menerus mereka ladeni dengan "tirakat" dan keyakinan bahwa
''ayam saja dikasih rezeki oleh Allah''. Ditipu habis oleh penguasa, cukup
mereka tepis dengan ''Tuhan tidak tidur''. Usaha gagal, dagang bangkrut, mereka
layani dengan "istiqamah" dan "jihad fisabilillah".
Besok
belum tentu makan, apalagi bayar kontrakan rumah dan terlebih-lebih lagi
membiayai anak sekolah tidak membuat mereka putus asa, karena di dalam dada
mereka ada "nekat". Mereka adalah champion of life. Jagoan dalam
mengalahkan segala jenis kesusahan hidup. Juara penderitaan. Sanggup membangun
kegembiraan dalam kesengsaraan. Petarung kesulitan. Pendobrak kemustahilan.
Tertawa dalam kehancuran.
Pandai
dalam kebodohan. Tidak mengenal lelah untuk terus-menerus ditipu, dibohongi,
diperdaya, dan ditindas. Di negara Pancasila, mereka sangat percaya kepada
Tuhan, tetapi sangat toleran kepada berhala-berhala. Di berbagai kegiatan
hidup, dari keagamaan, politik, dan budaya, mereka bahkan cenderung
eksploitatif terhadap berhala-berhala.
Sangat
gemar bermain berhala, mengambil apa dan siapa saja sekenanya untuk
diberhalakan, dipresidenkan, digubernurkan, di-Gus-kan. Esok paginya berhala itu
dibuang, ganti berhala baru. Para champion of life sangat percaya diri,
sehingga semau-mau mereka ambil berhala, pura-pura menyembahnya, mengaturnya,
mempergilirkannya.
Rasa
sayangku pontang-panting kepada Indonesia. Bangsa yang tidak menuntut kepemimpinan
kepada para pemimpin. Tidak menuntut komitmen kerakyatan kepada petugas pemerintahan
yang mereka upah. Tdk menagih kesejahteraan kpd pengelola tanah airnya, bahkan
menyedekahkan kekayaan kepada kepala negara kepala pemerintahan dan seluruh jajarannya.
Tidak
mempersyaratkan keterwakilan kepada para wakilnya. Lahap mengunyah disinformasi
yang dipasok oleh para petugas informasi. Bangsa yang tidak mengenal
kehancuran. Sebab memang tidak berjarak dari kehancuran. Juga karena dalam
stuktur kejiwaan mereka: antara kehancuran dan kejayaan, antara riang dengan sedih,
antara maju dengan mundur, hebat dengan konyol, mulia dengan hina, pandai
dengan bodoh, surga dan neraka, pada alam mental rakyat Indonesia --itu semua
sama sekali bukan polarisasi, tdk bersifat dikotomis, tak berhulu-hilir,
hulunya adalah juga hilirnya, hilirnya adalah jg hulunya.
Tak
ada garis lurus interval. Kedua dimensi nilai-nilai itu berada dalam bulatan
yang bersambung, yang kalau dipandang dari jarak tertentu: ia adalah sebuah
titik. Rakyat Indonesia tidak tertindas oleh ketidakmenentuan dalam kehidupan
bernegara. Republik ayo, kerajaan monggo.
Presidensial silakan, parlementer tak apa. Kalau pengurus negerinya
mengabdi kepada mereka, ya, tidak dipuji. Kalau mengabdinya kepada diri
penguasa sendiri, ya, dibiarkan. Kalau tidak mengabdi malah menganiaya, ya,
dikutuk beberapa saat saja.
Mereka
tidak terikat untuk mengingat apa yang harus diingat atau melupakan sesuatu
yang harus dilupakan. Juga tidak tertekan untuk harus tahu dan mengerti
sesuatu. Mau ingat apa, mau lupa apa, mau ngerti apa, terserah-serah
kepentingan mereka saat itu. Sebab akurasi energi psikologis mereka mengarah ke
kebahagiaan diri: ingat, lupa, dan mengerti bisa menjadi tembok penghalang
utama yang membuat mereka tidak mencapai kebahagiaan secara pragmatis dan
permisif.
Bahkan
antara ingat dan lupa, antara ngerti dengan tidak ngerti, bisa diracik oleh
jiwa manusia Indonesia menjadi sebuah kesatuan yang dibikin relatif. Kapan
butuh ingat, dia ingat. Kalau yang menguntungkan adalah lupa, mereka pun lupa. Jangankan
tentang isi dunia, sejarah, negara, pemerintah, penggadaian kekayaan tanah air,
korupsi, dan perampokan oleh luar maupun dalam negeri: sedangkan terhadap surga
sesungguhnya mereka tidak rindu-rindu amat, dan terhadap neraka mereka tidak
benar-benar ngeri.
Cintaku
kepadamu sekonyong-koder, Indonesia.
Inspirasi:
2 Bangzul_pni
0 komentar:
Post a Comment