Perpisahan memang menyakitkan. Tetapi kadang berakhir indah. Seperti perpisahan seorang mukmin dengan dunia. Ia menuju syurga. Perpisahan seorang dari keburukan-keburukan kemudian menjadi kebahagiaan di dunia maupun diakhirat. Perpisahan para pentaubat dengan maksiatnya. Begitu ketika kembali mengikrarkan syahadat setelah lama terlalaikan pasti kita akan membuat perpisahan dengan kehidupan yang tidak bermanfaat menuju sebuah kehidupan baru, serta kembalinya kita ke fitrah.
“setiap anak adam dilahirkan di atas fitrah. Maka orangtuanyalah ang meyahudikannya, atau menasranikannya, atau memajujusikannya…” (Muttafaq ‘Alaih)
Katakanlah “wada’an… selamat tinggal dunia kelam, Wada’an … selamat tinggal belenggu muram…” perpisahan. Inilah titik perpisahan. Dan dibalik perpisahan itu, ada makna-makna yang bisa kita telaah. Tentu untuk memperteguh syahadat kita.
“Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang kukuh itu di kehidupan dunia dan akhirat…” (Q.S Ibrahim 27)
Pertama: Berpisah artinya berlepas diri
Saudaraku coba kita ingat, bangsa Indonesia merdeka. Bagaimana proses mencapai kemerdekaan itu? Pasti dan perjuangan, selain itu ada proses lain yang menunjukkan kekuatan tekad dari perjuangan itu sendiri yaitu proklamasi. Coba bayangkan, jika tidak ada sebuah proklamasi yang menyatakan kita merdeka, pasti hasilnya akan sama saja, tetap terbelnggu. Hal ini sama hal dengan manusia, yang membutuhkan sebuah proklamasi dari diri mereka untuk segera melepaskan diri dari semua intervensi, tekanan, dan kekangan oleh semua untuk kejahiliahan dan musuh fitrah manusia.
Sejarahpun menberi ketauladanan bagi kita, bahwa proklamasi ini menuntut sebuah totalitas didalamnya. Ibrahim dan masyarakat bertauhidnya hanya minoritas di tengah peradaban peganis Namrud yang ingin menggilas. Tetapi mereka dengan penuh kehormatan dan kalimat tegas menolak apa yang dipaksakan kala itu.
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu paa Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya ketika mereka berkata kepada kaumnya,” sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian, dan dari apa yang kalian sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata antara kami dank alia permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja…” (Al Mumtahanah 4)
Berlepas diri disini adalah sebuah kemuliaan. Ketidaktergantungan kepada musuh fitrah dan jahiliyah, akan membangun psikologi yang penuh percaya diri, sejajar bahkan unggul dihadapan tiran jahiliyah.
Kedua: berpisah Artinya Ujian Cinta
Dengarlah cerita dari para muallaf sejati, kisah-kisah tentang ujian. Dengarlah dari mereka yang diusir dari rumahnya. Dengarlah mereka yang berpisah dari orang yang tercinta. Dengarlah mereka yang dari kemewahan diusir menuju kefakiran demi ridha Allah. Dengarlah kisah-kisah itu agar Allah memahamkan kita akan ayatnya yang mulia;
“kalian sungguh-sungguh akan diuji harta dan diri kalian. Dan kalian sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kalian dan orang-orang musyrik, gangguan yang banyak lagi menyakitkan…” (Ali Imran 186)
Nilai mulia seorang pengikrar, bukan terletak pada lengkingan suara tenornya meneriakan sebuah slogan. Demi Allah. Sang pemilik kemuliaan yang berhak untuk menguji, menyeleksi dan menetapkan gelar mukmin bagi siapapun yang dikehendakiNya. Ketika pengikrar ini menyatakan berpisah dari jahiliyah dan musuh fitrah, disinilah sebuah titik tolak dipancangkan, bahwa ia siap menerima ujian untuk melengkapi syarat kelulusannya sebagai mukmin.
“apakah manusia mengira mereka akan dibiarkan saja setelah mengatakan, “kami telah beriman”, padahal mereka belum di uji? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al ‘Ankabut 2-3)
Ketiga: Berpisah Artinya Berbeda
Tidak ada artinya perpisahan fisik, kalau batin masih saling terikat. Tak ada kemerdekaan sejati, selama yang jauh dimata masih dekat dihati. Perpisahan kita dengan jahilah dan musuh fitrah adalah sebuah kemerdekaan dari segala jenis keterbelengguan dalam perasaan pemikiran, ucapan dan tindakan. Kita merdeka untuk menegakkan fitrah kita sebagai manusia, mentauhidkan Allah dan memakmurkan bumiNya.
Mungkin sudah menjadi sifat manusia, bahwa ia menyukai simbol-simbol sebagaimana ia ingin meraih substansi. Islam sebagai risalah fitrah, tentunya sangat memperhatikan kecenderungan tidak sama dengan cahaya islam dan penegak-penegaknya. Ini adalah substansi yang tak akan sempurna tanpa implementasi. Cara pandang, pola pikir, dan bingkai presepsi bisa jadi merupakan implementasi intelektualnya. Tetapi lebih dari itu, jikalau para penentang aqidah ini berjuang mati-matian menunjukkan eksistensi dengan simbol-simbol dan modeyang memboroskan energi dan sumberdaya, maka pemelu kebenaan lebih pantas mewarnai duniadengan celupan warna ilahi, symbol penuh karakter sebagai identitas tegas yang akan membedakannya dengan pengikut kebathilan.
Dalam keseharian, seorang muslim harus memiliki karakter dan identitas. Bahkan memiliki penampilan yang berbeda dengan kaum-kaum yang terhukumi jahiliyah. Bukan karena Islam bersifat eksklusif. Tetapi Islam adalah system menyeluruh yang ingin menjadikan revolusi diri para pemeluknya kaffah.
inspirsi:
saksiakan aku seorang muslim
salim a fillah
Saturday, July 31, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 komentar:
wokey2
Post a Comment