Pages

Friday, February 25, 2011

Abu Ayyub Al-Anshari

Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam yang mulia ini bernama Khalid bin Zaid bin Kulaib, dari Bani Najjar. Julukannya adalah Abu Ayyub Al-Anshari.
Siapa gerangan muslim yang tidak mengenal Abu Ayyub Al-Anshari?
Allah mengharumkan namanya di Timur dan di Barat dan mengangkat derajatnya di atas makhluk-makhlukNya yang lain ketika Dia memilih rumah Abu Ayyub sebagai tempat menginap sementara bagi Nabi mulia yang baru berhijrah ke Madinah. Menginapnya Rasulullah di rumah Abu Ayyub merupakan kisah yang teramat indah untuk dikenang kembali.
Betapa tidak. Saat itu Nabi tiba di Madinah dengan dielu-elukan oleh seluruh penduduk. Semua mata memandanginya dengan penuh kerinduan seolah memandang sang kekasih hati. Mereka semua membuka pintu-pintu rumah, berharap Nabi mulia itu sudi menginap di tempat mereka.
Tetapi Rasulullah ternyata tinggal di sebuah desa berjarak dua mil dari Madinah, yaitu desa Quba'. Disini beliau membuat masjid pertama yang dibangun di atas dasar taqwa.
Kemudian beliau menunggangi ontanya keluar. Para pemimpin kota Yatsrib berusaha agar beliau mau berhenti. Masing-masing ingin mendapat kehormatan dijadikan tempat menginap oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka menghalang-halangi jalannya onta tunggangan beliau dan memohon-mohon, “Tinggallah di rumah saya beserta seluruh perlegkapan Anda, wahai Rasulullah. Kami akan menjamin keselamatan Anda.”
Rasulullah berkata, “Biarkanlah onta ini berjalan sekehendaknya karena dia diperintah oleh Allah.”
Onta itu terus berjalan diikuti tatapan mata para penyambut. Bila dia melewati satu rumah, maka pemiliknya merasa pupus harapan untuk bisa menjadi tuan rumah bagi Rasulullah. Sebaliknya pemilik rumah-rumah berikutnya menanti dengan harap-harap cemas akankah rumah mereka dipilih oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Namun si onta terus saja berjalan. Orang-orang pun mengikutinya dengan penasaran. Akhirnya sampailah dia disuatu tanah kosong di depan rumah Abu Ayyub Al-Anshari. Di situlah dia berhenti dan duduk.
Tapi Rasulullah tidak segera turun. Tak lama kemudian memang si onta bangkit dan berjalan kembali. Rasulullah melepaskan tali kendalinya. Belum jauh berjalan, dia berbalik dan duduk di tempat semula.
Tak terkirakan kebahagiaan Abu Ayyub Al-Anshari. Dia segera mendekati Rasulullah dan menurunkan barang-barang bawaan beliau. Rasanya dunia seisinya terkumpul di rumahnya….

Rumah Abu Ayyub terdiri dari dua lantai. Dia bermaksud mengosongkan barang-barangnya di lantai atas agar bisa di tempati oleh Rasulullah. Namun Rasulullah memilih tinggal di lantai bawah sehingga Abu Ayyub menuruti saja kehendak beliau.
Ketika malam, Rasulullah beranjak ke peraduannya, sementara Abu Ayyub dan istrinya naik ke lantai atas. Setelah menutup pintu, berkatalah Abu Ayyub, “Istriku, apa yang kita lakukan ini? Rasulullah berada di bawah dan kita di atasnya? Patutkah hal seperti ini? Kita berada di antara nabi dan wahyu yang akan turun kepada beliau!
Semalaman kedua suami istri ini gelisah dan tak tahu yang harus dilakukan. Mereka menyingkir dari tengah-tengah ruangan yang diperkirakan Rasulullah tidur di bawahnya. Bila hendak pergi ke sisi ruangan yang lain, mereka berjalan menempel dinding karena tak ingin berjalan di atas Rasulullah.
Pagi harinya Abu Ayyub berterus terang kepada Rasulllah, “Wahai Rasulullah, demi Allah semalam suntuk saya tidak dapat memejamkan mata, demikian pula dengan ummu Ayyub.”
Nabi bertanya, “Apakah sebabnya, wahai Abu Ayyub?”
“Saya teringat betapa saya berada di atas sedangkan Anda di bawah. Bila saya bergerak, maka debu-debu akan rontok dari atas dan mengganggu Anda. Di samping itu saya berada di antara wahyu dan Anda.”
Rasulullah menenangkannya, “Tenanglah, Abu Ayyub. Sesungguhnya aku merasa lebih enak berada di bawah, karena nantinya tentu banyak tamu yang berdatangan.”
Berkisahlah Abu Ayyub:
Aku mengikuti pilihan Rasulullah. Tapi pada suatu malam yang amat dingin, kendi air minum kami terjatuh dan airnya membasahi lantai. Sedangkan satu-satunya benda yang bisa dipakai untuk mengelapnya hanya selimut yang kami pakai. Maka tanpa pikir panjang kami segera mengepel air tumpahan tersebut dengan selimut sebelum terlanjur menetes ke bawah dan mengenai Rasulullah.
Keesokan harinya aku mendatangi Rasulullah seraya berkata, “Demi ayah bundaku, wahai Rasulullah, benar-benar saya tidak bisa tinggal di atas Anda.” Kuceritakan soal kendi yang pecah itu. Beliau akhirnya menerima alasanku dan bersedia pindah ke atas, sedangkan aku dan Ummu Ayyub turun ke lantai bawah.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tinggal di rumah Abu Ayyub selama sekitar tujuh bulan, yaitu sampai masjid di atas tanah yang diduduki onta beliau selesai dibangun. Selanjutnya beliau dan para istrinya tinggal di bilik-bilik di sebelah masjid. Beliau menjadi tetangga Abu Ayyub, tetangga yang menyebabkannya memperoleh kemuliaan dan keutamaan.
Abu Ayyub mencintai Rasulullah dengan cinta yang menyita segenap akal dan hatinya. Rasulullah juga mencintai Abu Ayyub dengan cinta yang menghapuskan dinding pemisah antara Abu Ayyub dan dirinya karena Rasulullah menganggap rumah Abu Ayyub seperti rumah sendiri.

Berkisah Ibnu Abbas:
Pada suatu siang yang terik Abu Bakar keluar dari rumahnya menuju ke masjid. Umar melihat lalu menyapanya, “Wahai Abu Bakar, apa yang menyebabkan Anda keluar rumah pada siang seterik ini?”
Jawab Abu Bakar, “Aku tidak akan keluar rumah kalau tidak didorong oleh rasa lapar yang menggigit.”
Umar menimpali, Aku pun demi Allah tidak keluar kecuali karena sebab yang sama.”
Saat mereka berdua bercakap-cakap, Rasulullah datang seraya bertanya, “Apa yang menyebabkan kalian keluar rumah pada saat sepanas ini?”
Keduanya menjawab, “Demi Allah, perut yang perih karena laparlah yang memaksa kami keluar.”
Kata Nabi, “Demi jiwaku ditanganNya, tidak ada pula yang mengeluarkan diriku dari rumah kecuali itu juga. Mari ikutlah aku.”
Mereka bertiga berjalan sampai di depan pintu rumah Abu Ayyub Al-Anshari. Setiap hari Abu Ayyub memang biasa menyediakan makanan untuk Rasulullah. Bila pada waktu-waktu makan beliau tidak juga datang, baru Abu Ayyub memperbolehkan keluarganya memakannya.
Ummu Ayyub membuka pintu lalu mengucapkan salam, “Selamat datang, wahai Nabi dan saudara-saudara.”
Rasulullah bertanya, “Dimana Abu Ayyub?”
Saat itu Abu Ayyub sedang mengurus pohon kurmanya disamping rumah. Mendengar suara Nabi, dia segera menyongsong, “Selamat datang, wahai Rasulullah dan saudara-saudara.” Lanjutnya, “wahau Nabiyullah, bukan kebiasaan anda datang pada waktu-waktu seperti ini.”
Nabi membenarkan, “Engkau benar.”
Abu Ayyub kemudian memotong setandan kurma yang berisi tamar, rutab, dan busr (rutab adalah kurma telah masak, sedangkan busr adalah yang masih seperti masak).
Rasulullah berkata, janganlah engkau memotong tandan yang begini. Sebaiknya ambillah tandan yang sudah sempurna.
Kata Abu Ayyub, “Wahai Rasulullah, saya ingin Anda makan tamarnya, rutab-nya, serta busr-nya juga. Saya pun akan menyembelih kambing untuk Anda.”
Pesan Rasulullah, “Janganlah engkau menyembelih kambing yang sudah mengeluarkan susu.”
Abu Ayyub memilih seekor anak kambing yang berumur setahun. Setelah menyembelihnya, dia berkata kepada istrinya. “Buatlah adonan untuk roti, engkau lebih mengerti cara membuat roti. Untuk kambingnya, masaklah yang separuh dan bakarlah separuh lainnya.”
Setelah masak, roti, kuah, dan kambing segera dihidangkan. Rasulullah mengambil sepotong daging dan menaruhnya didalam roti seraya berkata, “Wahai Abu Ayyub, tolong antar roti dan daging ini kerumah Fathimah. Dia juga beberapa hari tidak makan sesuatu.”
Setelah mereka semua kenyang, Nabi berkata, “Roti, daging, tamar, busr,dan rutab. “Kedua mata beliau berlinangan ketika melanjutkan, “demi jiwaku di tangan-Nya, inilah yang disebut nikmat, yang akan kalian pertanggungjawabkan kelak pada hari kiamat. Bila kalian menghadapi hidangan seperti ini dan akan menyantapnya, bacalah basmalah. Bila sudah kenyang ucapkan: ”Alhamdulillahiladzi huwa asba'anaa wa an'ama 'alaina fa afdhala (Segala puji bagi Allah yang memberi kami makan sampai kenyang dan memberi karunia sebaik-baiknya).”
Rasululah lalu bangkit dan berpesan kepada Abu Ayyub, “Besok datanglah ketempatku.”
Sudah menjadi tabiat luhur Rasulullah bahwa tak seorang pun berbuat baik kepada beliau kecuali segera dibalas dengan kebaikan yang lain. Namun kelihatannya Abu Ayyub tidak mendengar kata-kata beliau sehingga Umar merasa perlu mengulangi, “Nabi meminta Anda datang kepada beliau besok pagi.”
Abu Ayyub segera berkata, “Saya akan datang besok, ya Rasulullah.”
Keesokan harinya pergilah Abu Ayyub ke tempat Rasulullah. Beliau ternyata menghadiahinya seorang pembantu rumah tangga seraya berpesan, “Perlakukanlah anak ini dengan baik di rumahmu, Abu Ayyub. Kami tidak pernah mendapati pada dirinya selain sesuatu yang baik selama di rumah ini.

Abu Ayyub pulang pulang bersama anak belia itu. Ummu Ayyub keheranan melihatnya, maka ia berkata, “Untuk siapa anak ini, Abu Ayyub?”
Jawab Abu Ayyub, “Untuk kita. Hadiah dari Rasulullah.” “Sebuah hadiah yang paling berharga,” komentar Ummu Ayyub.
Abu Ayyub melanjutkan, “Beliau berpesan agar kita memperlakukan anak ini sebaik-baiknya.”
Ummu Ayyub berpikir-pikir, “Kebaikan apa yang bisa kita lakukan terhadapnya untuk melaksanakan pesan Rasulullah itu?”
Kedua suami-istri itu terdiam beberapa saat sampai akhirnya Abu Ayyub berkata, “Demi Allah aku tidak mungkin melaksanakan pesan itu lebih baik daripada memerdekakan anak ini.”
“Engkau telah mendapat petunjuk kebenaran! Engkau mendapatkan taufik!” Ummu Ayyub kegirangan.
Anak kecil itu pun dimerdekakan oleh mereka ….

Rangkaian kisah diatas adalah mengenai kehidupan Abu Ayyub Al-Anshari dalam suasana damai. Bila Anda sempat mengetahui sebagian hidupnya dalam peperangan, niscaya Anda akan menjumpai hari-hari yang menakjubkan.
Sepanjang hidupnya, Abu Ayyub adalah seorang mujahid, seorang pejuang yang aktif. Dia bahkan tidak pernah ketinggalan dalam seluruh perang muslimiin sejak masa Rasulullah hingga masa Muawiyah kecuali bila disibukkan oleh suatu tugas.
Perang terakhir yang diikutinya adalah penaklukan Konstantinopel. Muawiyah saat itu mengirimkan pasukan yang dipimpin oleh putranya sendiri, Yazid. Pada masa itu Abu Ayyub adalah seorang lanjut usia berumur delapan puluhan. Dia tidak mau ketinggalan ikut berperang di bawah panji-panji Yazid dan turut menerjang gelombang musuh sebagai seorang pejuang.
Namun Abu Ayyub tak mampu lama-lama bertempur. Dia menderita sakit yang mengharuskannya untuk beristirahat. Yazid sebagai panglima menjenguk dan bertanya, “Adakah anda memerlukan sesuatu, Abu Ayyub?”
Dia menjawab, “Sampaikanlah salamku kepada seluruh kaum muslimin…”
Abu Ayyub juga berpesan agar pasukan terus maju kedaerah musuh dan membawanya bersama mereka. Bila nanti dia wafat di medan perang, hendaknya jenazahnya dibawa dan dimakamkan dibawah dinding batu konstantinopel.
Tak lama setelah itu, Abu Ayyub pun wafat.

Pasukan muslimin melaksanakan amanat sahabat Rasulullah ini. Mereka terus bertempur dengan gagah berani. Ketika mencapai dinding Konstantinopel mereka memakamkan jenazah Abu Ayyub dibawahnya.
Semoga Allah memberi rahmat kepada Abu Ayyub Al-Anshari. Dia tidak mau mati kecuali diatas punggung beberapa ekor kuda jinak sebagai pejuang. Menyerbu ke tengah medan tanpa mempedulikan bahwa usianya sudah delapan puluh tahun

0 komentar: